Sunday, June 5, 2011

Rintisan Kemasan Kosmetik

Seputar tahun 1971- 1972, selaras dengan membludaknya pasien di Jalan Sumatra, sistem pembuatan obat pesanan Retno sudah berubah. Racikan obat yang dibuat satu-satu berdasarkan resep individual, kini tinggal kenangan. Obat telah "diproduksi",  meski dalam ukuran yang masih kecil-kecilan. Tranggono ingat betul, dialah yang mengawasi produskinya, di apotek yang bersebelahan dengan tempat praktiknya. "Kami masih pinjam tempat di apotek," kisahnya. "Tukang racik, alias ahli obat pun kami pinjam dari rekan saya yang apoteker itu. Untuk kemasan, mudah: kalau obat cair kita membeli botol kecil yang kosong; kalau salep, yang kita beli pot kosong; lalu kita serahkan kepada apotek untuk dibersihkan supaya higienis, karena itu salah satu tuntutan kami. Lalu diisi dan ditutup. Setelah itu giliran saya. Pot-pot dan botol-botol saya angkut di jip Rusia saya dan saya pergi ke tempat praktik Retno di jalan Sumatra. Kami belum membuat badan hukum atau CV. Masih sebagai dokter, Retno dokter kosmetodermatolog, saya psikiater. Saat itu kami belum punya banyak bayangan bahwa akan menjadi 'industriawan'." ungkap Dr. Suharto Tranggono.

Pada waktu itu produk kosmetik Retno masih merupakan industri rumah tangga, yang penjualannya sepenuhnya bergantung pada kepiawaian Retno. Berpenampilan profesional, Retno yang mulai dijuluki sebagai Dokter Jerawat, memang mempunyai kemampuan ajaib untuk meyakinkan "pasien" bahwa masalah kulitnya dapat diatasi bila ditangani dengan kesungguhan oleh sang dokter dan dilaksanakan oleh pasien. Selain kebersihan, katanya faktor rasial dan iklim memegang peran yang tidak kecil, dan obat yang dia tawarkan dibuat berdasarkan pertimbangan itu. Pasien puas, namun perihal kecantikan, bukanlah tidak cukup untuk mengobati jerawat, tetapi harus juga merawat sehari-hari secara teratur dan benar? Untuk itu, para langganan salon Dr. Retno tidak lagi membutuhkan penanganan medis murni. Cukup nasihat, dilengkapi dengan anjuran penggunaan produk kosmetik yang memadai - yaitu yang dapat dipertanggungjawabkan dan tidak mengandung bahan perusak kulit. Retno cepat memahami adanya "lahan profesional" baru. Sedikit demi sedikit, bukan lagi sekedar "obat" yang dipesan pada apoteker untuk pasiennya, tetapi "produk-produk" kosmetika yang terjamin layak secara medis. Pot-pot dan salep lain dijual di bagian salon untuk konsumen umum, tanpa perlua resep dokter. Dengan kata lain, dari produk farmasi, sedikit demi sedikit bralih ke produk kosmetik.

Retno tengah mempertemukan dunia kedokteran dan dunia kosmetik, kali ini tidak lagi di laboratorium dan ruang kuliah UI, tetapi untuk konsumsi masyarakat. Tujuannya, menjadikan wanita-wanita Indonesia lebih cantik dan sekaligus lebih sehat speanjang usia. Inilah idaman Retno untuk membuat kosmetik.

Tentu saja, Indonesia bukanlah tidak mempunyai tradisi perawatan kecantikan. Sudah ratusan tahun wanita Jawa minum jamu guna memperlancar metabolisme tubuh dan dengan demikian menjaga kesegaran dan kecantikan. Sebagai perawatan luar, mereka biasa mengoles aneka lulur dan boreh yang mengharumkan kulit dan mempererat pori-pori kulit. Tetapi mandi bunga juga diteapkan. Wajah diperputih melalui penggunaan pupur beras. Hasilnya tampak gemilang, Tetapi, disitulah justru muncul masalah. Hampir semua produk bedak yang dipergunakan, kalau bukan produk impor, dibuat secara lokal berdasarkan formula-formula taun 1930-an - ketika kesehatan kulit belum diperhatikan. Dengan perkecualian Viva, semua merek kosmetik yang beredar pada umumnya mengandung zat-zat kimia yang berpotensi merusak kulit, dan bahkan kesehatan tubuh secara keseluruhan.

 Retno menyadari masalah itu. Tak sedikit pasien yang berkunjung ke tempat praktiknya mengeluhkan soal itu. Kosmetik untuk memutihkan dan memperhalus kulit wajah malah menimbulkan flek-flek cokelat. Bahkan, ada yang sampai bengkak dan bernanah. Ketika berhadapan dengan pelanggan seperti itu, Retno kembali kepada prinsip dasarnya: kebersihan.  Dia mengimbau wanita-wanita itu untuk berhenti menggunakan ksometik yang mencurigakan dan mencuci wajah secara benar. Retno terpaksa, sekali lagi, menggantikan "produk: yang "tak ada" itu dengan racikan medis hasil apoteknya sendiri. Dengan demikian, Retno menghasilkan ragam kosmetik yang sama sekali baru.

No comments:

Post a Comment