Sunday, June 12, 2011

Awal Cahaya di Cakrawala

Pada tahun-tahun terakhir rezim Orde Lama, produk kosmetik terhitung barang mewah. Hanya segelintir orang yang mampu membelinya. Belum ada produk lokal. Yang beredar di pasar sangatlah terbatas, seratus persen barang impor. Situasi itu berubah drastis di era Orde Baru seiring geliat perekonomian yang diakibatkan oleh program pembangunan. Kelas menengah, yang hingga waktu itu cuma lapisan tipis dengan kemampuan finansial yang terbatas pula, tiba-tiba tampil dinamis dengan akses pada uang tunai yang sebelumnya sulit terbayangkan. Surat kabar dan majalah baru diluncurkan. Termasuk media cetak yang khusus diarahkan kepada pembaca wanita. Otomatis, berbagai artikel tentang dunia mode, fashion, kecnatikan, kesehatan dan sejenisnya mulai membanjir.

Berkat ekonomi pasar yang kapitalis ini, banyak benda konsumsi impor ikut membludak, seiring pertumbuhan kota-kota besar yang satu demi satu mulai dihiasi aneka toserba dan super market. Termasuk, aneka ragam barang kosmetik dan produk fashion asing. Sejalan dengan kemajuan ekonomi yang dialami Indonesia, muncullah pula konsumen wanita modern berikut suatu pasar khusus untuk perawatan kulit dan produk-produk kecantikan. Pasar itulah yang dikemudian hari menjadi lahan usaha Retno dan beberapa pengusaha kecantikan Indonesia lainnya.

Retno lulus sebagai spesialis Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin tepat pada waktu perekonomian Indonesia mulai bergerak tumbuh, yaitu tahun 1968, satu tahun setelah melahirkan anak keduanya -Krishna Nindita, pada tanggal 21 Juli 1967. Sudah lebih dari empat tahun Retno memberikan kursus kepada para beautician Viva Institute. Selain itu, sebagai dokter muda yang aktif bekerja setiap pagi di poliklinik Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin dan memberikan kuliah kepada mahasiswa, Retno memiliki keahlian yang betul-betul langka. Kecantikan dia tahu, kedokteran kulit pun dia paham. Dia juga punya pengalaman yang cukup panjang di kedua bidang itu. Tak ada siapapun di Indonesia, mungkin selain Dr. Tio Tiong Ho, yang memiliki kombinasi pengetahuan dan ketrampilan yang menyamainya di bidang kecantikan.

Retno tidak segera menyadari peluang-peluang yang dibuka oleh keunggulannya. Dia tak berniat berdikari. Ketika Ibu Bo Tan tjoa mengajaknya membuka praktik di Salon Viva, tempat dia selama ini mengajar, dia menerima tawaran tersebut sekali seminggu sebagai part time job. Kala itu, gerakan keluarga berencana (KB) yang diprogramkan Orde Baru lebih memikat perhatiannya. Pada era pemerintahan Presiden Soekarno, belum ada program KB. Indonesia, yang hendak membangun, justru membutuhkan rakyat dalam jumlah banyak. Demi "kebesaran bangsa", rakyat harus beranak pinak. Pada zaman Orde baru mulai 1968, program KB dicanangkan. Angka kelahiran diatur dan dibatasi. Jika tidak, ledakan penduduk bakal terjadi dan melanggengkan kemiskinan. Retno sepakat, maka ketika Kepala Bagian Ilmu Penyakit dan Kelamin, Prof. Dr. Djoewari meminta bantuan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), tanpa pikir panjang Retno menerima dengan senang hati. Waktu itu, belum ada Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Kegiatan KB berpayung di bawah LSM asing bernama Planned Parenthood Association yang beprusat di London, Inggris. "Saya seminggu dua kali ke desa-desa di Kecamatan Lemah Abang, Cikarang, tambun untuk memperkenalkan intra uterin device (IUD) kepada masyarakat di puskesmas-puskesmas setempat. Saya diantar jemput mobil Land-Rover milik PKBI," lanjut Retno.

Dari daerah penyuluhan yang dijelajahinya itulah, dia sempat mengembangkan hobinya yang lain, beternak ayam. Jumlahnya mencapai 75 ekor yang dipelihara di tiga kandang. Dari kampung-kampung itu, rutin dibawanya sekam halus- kulit padi, sebagai pakan ayamnya. Tak jarang, penduduk sekitar memberinya ubi, singkong, nangka atau pisang. Dalam kapasitasnya sebagai penyuluh KB itulah Retno juga mendapat kesempatan training ke luar negeri atau seperti yang dikatakan suaminya, kesempatan untuk melihat dunia. Pertama ke Filipina, disusul ke Korea dan pada 1970 ke Malaysia. Bersama lima rekan -dokter, bidan dan pejabat BKKBN- training berlangsung selama satu bulan. Pada lawatan ke Korea, ketakutan sempat mendera. Ceritanya, rombongan diinapkan di sebuah hotel berkelas di Seoul. "Tetapi", cerita Retno, " tahu-tahu, pada saat kami membuka pintu kamar untuk minta seprai diganti, muncullah laki-laki mabuk yang mau mencoba masuk. Kami ketakutan dan untunglah bertemu dengan teman-teman kami yang menghalau si pemabuk itu. Disitulah saya mengerti bahwa harus berhati-hati di tempat mana pun yang belum kita kenal.

Seusai training di Seoul, Retno tidak langsung pulang. Di seberang Selat Kroea terlatk gugusan pulai wilayah Jepang, dengan Tokyo nun di utara. Suatu kesempatan yang tidak boleh dilewatkan. Retno telah dibekali surat pengantar buat Bapak Is Lango, adik seorang rekan Tanggono yang kebetulan ditugaskan di kedutaan Indonesia di Tokyo. Istrinya, Bendari Lango sudah menyatakan kesanggupannya mengantar Retno kemana pun dia mau. "Jalinan hangat persahabatan dan tulus seperti itu cukup menbgemuka pada waktu itu, " kata Retni. "Is diberi tahu jam kedatangan saya, dia dan istrinya menjemput saya di lampangan udara. Karena belum kenal, maka saya ditaruh di hotel. Tetapi saya masih dihantui ketakutan akibat pengalaman di Korea, dan semalaman tidak bisa tidur. Untunglah keesokan harinya saya dijemput lagi oleh Is. Kami cocok dan dia mengajak saya pindah tidur di rumahnya sampai akhir kunjungan di Tokyo.

Perjalanan Retno ke luar negeri ini mengimplisitkan sikap terbuka dan saling percaya antara Retno dan Tranggono. Pada waktu itu belum begitu lazim wanita bepergian sendiri, tanpa disertai suami. Sebagai suami, Tranggono tak menutup akses bagi istrinya untuk menambah pengetahuan dan pengalaman. Yang dilakukan Retno di Tokyo memang bukan sekedar jalan-jalan. Tak hanya untuk shopping, dia ingin mendapatkan manfaat lain yang menunjang perkembangan keahliannya sebagai dokter kulit dan kecantikan. Dalam rangka itulah, ditemani IS Lango, dia berkunjung ke Jurusan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di Fakultas Kedokteran Universitas Tokyo. Di tempat itulah dia mendapatkan informasi tentang adanya alat medis canggih yang mempu menghilangkan kutil. Alat itu pula yang dbelinya dan dibawa pulang ke Indonesia. "Saya dokter pertama di Indonesia yang mempergunakan alat itu dan hingga kini terus saya pakai, " kenang dia dengan bangga. Tak hanya alat medis itu, Retno juga memberli alat fotografi - kamera dan film bewarna- yang di Indonesia pada era itu, belum populer dan masih langka.

No comments:

Post a Comment