Sunday, April 24, 2011

Tantangan Bangsa

Temuan Retno cukup menantang, bukan hanya secara ilmiah, tetapi juga dalam perspektif kebangsaan. Bukankah dia menunjukkan, bahwa oleh karena kadar melanin kulit manusia berbeda-beda menurut kelompok ras asalnya, perawatan kulit pun harus berbeda? Tentu! Tetapi, jangan salah sangka. Retno sama sekali tidak membenarkan secara ilmiah prasangka-prasangka rasial yang purba- yaitu bahwa  manusia memang berbeda-beda secara hakiki. Perbedaan antarkelompk etnis yang dikaji oleh dia terbatas pada lapis derma tau bagian kulit yang teratas, sesuatu hal yang sangat minor di dalam struktur tubuh manusia.

Sesungguhnya penemuan Retno memang tidak menyangkut segi rasa saja, tetapi juag segi historisnya, berupa perubahan di dalam distribusi ilmu antarbangsa. Pada waktu Retno membuat terobosan ini, dunia ilmu masih cenderung dianggap sebagai monopoli dunia barat. Lazimnya terjadi proses berikut: seorang ilmuwan Barat melakukan penemuan dan temuan itu disebarluaskan ke seantero dunia sebagai kebenaran universal, yang seolah wajib oleh siapapun juga.

Situasi ini tercermin pada pertemuan-pertemuan internasional, yang makalah dan informasinya cenderung mewakili temuan dan opini orang Eropa atau Amerika saja. Bila orang-orang non-barat hadir, paling-paling wakil dari Jepang saja atau semata jadi pepsera pasif dan malahan selaku peninjau belaka. Realitas itu yang “didobrak” Retno.

Retno tidak sekedar hadir pada aneka pertemuan internasional, tetapi dengan lugas mempresentasikan makalah-makalah yang menggugat kesahihan suatu ilmu dan dominasi barat dalam dunia sains. Ketika membuktikan bahwa struktur kulit orang melayu berbeda dari struktur kulit orang Eropa dan bahwa terapi harus disesuaikan pada kenyataan itu, dia menunjukkan dengan jelas bahwa hukum yang selama ini dianggap universal tak lebih daripada suatu hukum yang bersifat lokal dan terbatas. Yang berlaku dan aman bagi orang Belanda- dan diajarkan di Indonesia-seharusnya tidka otomatis berlaku dan aman bagi orang Indonesia. Jadi, Retno turut menelanjangi “Barat-sentrisme” yang berlaku dalam ilmu dermatologi dan secara tidak langsung memaksakan dematolog-dermatolog sedunia untuk merombak dan lebih “menguniversalkan”asumsi-asumsinya.

Prestasi Retno itu terjadi pada akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an, yaitu ketika Indonesia tak lebih dari suatu backwater (wilayah terpinggirkan) di bidang ekonomi internasional. Jarang sosok dari Negara Dunia Ketiga yang berhasil tampil seperti yang dilakukan Retno. Maka, sebagai penemu relativisme rasial dan geogrofis di dalam bidang dermatologi internasional, bisa dibayangkan bahwa Retno dengan sendirinya menjadi figure panutan di Indonesia. Salah seorang tokoh wanita terpenting di zamannya.

Bila lahir di Negara maju dan di bawah langit yang kurang biru, boleh jadi kegiatan Retno terbatas pada pekerjaannya sebagai dosen, atau sebagai dokter kulit. Untungnya dia lahir dan tumbuh di daerah tropis bernama Indonesia, yang “keterbelakangan” ekonominya, bahkan urusan perawatan kulit kaum wanitanya, menantang untuk dieksplorasi. Retno tak bisa tinggal diam terhadap realitas kusam di dunia sekitarnya. Dia tak bisa berpangku tangan untuk tidak cawe-cawe dengan “membagi” ilmunya, demi “pencerahan” kaum wanita. Kesadaran inilah yang mendorongnya memberikan penyuluhan, ceramah dan menjadi penasihat di berbagai lembaga. Semangat yang sama membawanya pula tumbuh menjadi pengusaha yang penuh empati. Sang teoritisi dalam bisang dermatologi ini sekaligus bertindak sebagai praktisi, bahkan dengan cepat menajdi praktisi “produsen”kosmetik.

Pada waktu itu, tidak ada suatu merek kosmetik pun yang memperhitungkan faktor local dalam produksinua. Kosmetik yang membanjiri pasar make up cukuplah semata “berkhasiat” menutup-nutupi dan melapisi kulit ala kadarnya, boleh dikata tanpda mempertimbangkan dampaknya terhadap kulit. Parahnya lagi, kosmetik yang datang ke Indonesia kerap mengandung bahan kimia perusak atau peracun seperti merkuri dari China, Taiwan dan Thailand. Kosmetik itu dilemparkan ke pasar begitu saja. Tidak jarang pula, meski telah dinyatakan aman, kosmetik impor itu bermasalah.

Kalaupun tidak mengandung bahan beracun, dijual atas dasar asumsi bahwa perbedaan iklim dan perbedaan jenis kulit bukanlah faktor yang penting. Produk-produk yang dibuat untuk pasar Eropa dan Amerika dengan pendudukanya yang berkulit kering dan bermelanin rendah, dipasarkan begitu saja secara bebas di negeri tropis seperti Indonesia yang kaya sinar matahri dengan jenis kulit berminyak dan bermelanain tinggi. Tak mengherankan bila penggunaannya mendatangkan banyak keluhan seperti menimbulkan jerawat, noda hitam, terlihat mengilat, lengket, meleleh, warna tidak cocok dan daya serap kulti berbeda. Situasi itulah yang kemudian diperdalam secara intensif dan ditangano secara sistematis oleh Retno pada tahun-tahun itu. 

No comments:

Post a Comment